Wednesday 21 January 2009

Fitrah Anak

Sabda Rasulullah:

“Setiap anak itu dilahirkan menurut fitrahnya, maka hanya kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi.” (Bukhari Juz 1)

Wednesday 14 January 2009

Menjadi Pendengar yang Baik

"Pendengar yang baik tidak hanya dapat diterima dimana-mana, tetapi
juga dapat mengambil hikmah dari apa yang didengarnya."
-- Wilson Mizner, Playwright, 1876-1933

ACARA itu pada awalnya lancar-lancar saja. Maklum, ini kan acara
yang dihadiri orang-orang terhormat. Nama eventnya juga keren:
pembekalan forum konsolidasi pimpinan daerah. Nah, di sanalah para
pemimpin di daerah seperti Bupati, Wali Kota, dan Ketua DPRD tumplek
blek di dalam Gedung Lembaga Ketahanan Nasional, 8 April lalu.
Mereka pun takzim mendengarkan pidato Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono
. Namun, sesaat kemudian, saat Presiden berpidato mengenai
penghematan anggaran, tiba-tiba pidato itu terhenti. Lo, what
happened aya naon?

Awalnya tak ada yang tahu pasti kenapa Presiden diam. Namun,
telunjuknya yang diarahkan pada seseorang di deret kursi keempat
paling belakang, menjadi jawabannya. "Itu coba bangunkan yang tidur
itu. Kalau tidur di luar saja!" ujarnya sambil menunjuk pimpinan
daerah dimaksud. Waduh, ini kok seperti zaman kita sekolah dulu.
Tentulah kita masih ingat saat di antara murid, dan siapa tahu Anda
sendiri yang mengalaminya, terpaksa diusir dari kelas. Nah, kembali
ke pertemuan akbar itu, persis seperti keadaan di kelas, tanpa
dikomando, seratusan hadirin yang ada di ruangan tersebut menegakkan
duduknya. Yang tadinya setengah tertidur, menjadi melek beneran.
Beberapa peserta diarah telunjuk Presiden menengok ke kiri dan ke
kanan mencari siapa orang yang dimaksud. Presiden
melanjutkan, "Pimpinan bagaimana dapat memimpin rakyat kalau tidur!
Malu dengan rakyat yang memilih. Untuk mendengarkan pembicaraan
untuk rakyat saja tidur! Jangan main-main dengan tangung jawab.
Berdosa, bersalah dengan rakyat."

Ah, apa sih yang membuat para kepala daerah itu sampai tertidur?
Katanya sih banyak sebab. Salah satunya jadwal yang padat dari para
peserta menjadi biang kerok para peserta menjadi tidak fokus dan
juga kelelahan. Haha… jadi mikir nih, di daerah masing-masing
bukankah mengurusi daerah juga bikin lelah. Jangan-jangan…..

Tapi sudahlah. Mari kita berbaik sangka. Mereka memang kelelahan.
Tetapi, alasan apa pun yang diberikan, memang tidak sepatutnya
seseorang tertidur ketika orang lain sedang berbicara. Apalagi dalam
acara sepenting itu. Bila yang lain dapat mendengarkan pidato
presiden dengan baik, maka seharusnya berlaku sama bagi peserta yang
lain.

Menjadi seorang pembicara memang sulit. Tetapi lebih sulit lagi
menjadi seorang pendengar yang baik. Apakah memang benar, menjadi
seorang pendengar yang baik itu penting? Penelitian oleh Crocker,
1978 yang hingga kini masih tetap menjadi acuan, menemukan fakta
bahwa dari 300 organisasi yang diteliti, sebagian besar
menempatkan "listening" di urutan teratas, sebagai syarat seorang
pemimpin yang berhasil. Lantas apa bedanya dengan "hearing"? Ada
perbedaan antara "listening" dengan "hearing". "Hearing" berarti
mendengar suara, sedangkan "listening" berarti menangkap makna dari
suara yang didengar. 'Listening requires paying attention,
interpreting, and remembering sound stimuli.'

Mendengarkan secara aktif (active listening) menuntut kita agar
mampu menempatkan diri sebagai pihak yang menyampaikan pesan atau
empati. Kita harus berkonsentrasi dan mau memahami sepenuhnya isi
yang dikemukakan pembicara. Sedangkan mendengarkan secara pasif,
menempatkan diri kita hanya seperti mesin perekam saja. Semua kata
hanya dimasukan ke dalam memori, baik yang penting dan yang tidak,
sehingga kita tidak dapat membedakannya.

Lantas bagaimana untuk menjadi pendengar yang efektif? Delapan kiat
ini bolehlah dicoba.

1. Lakukan kontak mata (make eye contact)
Perasaan siapa yang tak kesal bila seseorang yang diajak ngobrol
malah memalingkan muka. Anda tentu akan mentafsirkan bahwa orang
tersebut mungkin tidak tertarik akan apa yang Anda bicarakan.

2. Anggukan kepala dan ekspresikan wajah penuh perhatian
(exhibit affirmative head nods and appropriate facial expression)
Pendengar yang efektif tertarik atas apa yang sedang diucapkan orang
lain dengan memberikan tanda "nonverbal". Menganggukan kepala,
menaikkan alis mata, mengerutkan wajah, terkejut ketika pembicara
melontarkan ide gila, tertawa ketika pembicara melontarkan humor,
menggeser posisi duduk ke arah pembicara, dan lain sebagainya.

3. Cegah tindakan atau gerakan yang berkesan negatif (avoid distraction
actions or gestures)
Ketika anda sedang mendengarkan pembicaraan orang lain, jangan
terlampau
sering melihat atau melirik ke arah jam, memainkan pena, mencongkel
kotoran
di kuku, membuka-buka halaman buku, atau mengerjakan sesuatu yang tidak
berkaitan dengan isi pembicaraan. Tindakan-tindakan tersebut
mengesankan
bahwa anda bosan, atau tidak tertarik pada apa yang sedang diutarakan
pembicara.

4. Ajukan pertanyaan (ask questions)
Pendengar yang kritis mencoba menganalisis apa yang didengarkannya,
dan lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan. Hal ini
menunjukkan bahwa Anda memang benar-benar mendengarkan.

5. Uraikan apa yang didengar dengan kata-kata sendiri (paraphrase)
Dalam suatu percakapan, misalkan saja Anda mendengar sang pembicara
mengatakan sesuatu dan Anda ingin menegaskannya, maka Anda
mengatakan, "Maaf tadi Anda mengatakan…..(kata-kata pembicara),
apakah itu artinya….. (kata-kata anda sendiri)?" Ada dua alasan
mengapa tindakan ini perlu dilakukan. Pertama, sebagai tanda bahwa
Anda memperhatikan betul isi pembicaraan. Kedua, sebagai tanda
bahwa Anda ingin mengerti apa yang dimaksud si pembicara atau jangan
sampai salah mentafsirkan kata-kata pembicara.

6. Hindarkan menginterupsi atau memotong pembicaraan (avoid
interrupting the speaker)
Beri kesempatan kepada pembicara untuk menyelesaikan isi
pembicaraannya. Setelah itu baru anda boleh mengajukan pertanyaan
atau memberikan komentar.

7. Jangan terlalu banyak bicara (don't over-talk)
Ketika kita sedang dalam posisi sebagai pendengar yang baik,
tahanlah untuk tidak banyak bicara.

8. Siapkan dirimu menjadi pembicara sekaligus pula pendengar yang
baik (make smooth transitions between the roles of speaker and
listener)
Anda juga harus tahu kapan saat yang tepat untuk menjadi seorang
pembicara dan juga kapan saat yang tepat untuk menjadi seorang
pendengar.

Untuk menjadi seorang pendengar yang baik, kita perlu melatihnya.
Bahkan kalau perlu setiap hari. Presiden Theodore Roosevelt bukan
hanya ulung dalam hal berpidato, namun juga seorang pendengar yang
baik. Ia pun menghargai sang lawan bicara. Dalam suatu pesta besar,
Roosevelt bosan dengan orang-orang yang selalu membalas komentarnya
hanya dengan basa-basi. Roosevelt mulai mengubah dengan menyambut
orang lain dengan senyuman sambil mengatakan, "Tadi pagi saya bunuh
nenek saya lo!". Orang-orang di sekitarnya mengabaikan komentarnya
yang "penting" ini. Kebanyakan orang-orang tidak mendengar apa yang
dikatakan sang presiden. Namun seorang diplomat mendengarnya. Begitu
mendengar komentar sang presiden, ia segera berbisik kepada sang
presiden, "Saya yakin itu memang takdirnya ya!"

Membuat suatu perubahan, baik kecil ataupun besar, diawali dengan
suatu tindakan, yaitu mendengarkan.

Sumber: Menjadi Pendengar yang Baik oleh Sonny Wibisono, penulis,
tinggal di Jakarta


Wednesday 7 January 2009

obat gundah hati


Disaat hati kita merasa gundah, sedih dan gelisah, maka berdzikirlah !!! Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah, hati akan menjadi tenteram. ( QS. Al-Ra`d: 28) Mudah-mudahan kita selalu di bimbing-Nya, dalam menghadapi segala masalah yang kita hadapi.Amien

konflik Palestina-Israel

.....Satu-satunya harapan adalah jika kedua belah pihak lelah dan bosan
perang, lalu dengan "sadar" meletakkan senjata dan saling jabat tangan....

Tentang bangsa Yahudi dan konflik Palestina-Israel

Oleh: UAA

Saya kadang-kadang berpikir, jangan-jangan konflik Palestina-Israel tidak
akan selesai "ila yaum al-qiyamah", sampai hari kiamat. Satu-satunya harapan
adalah jika kedua belah pihak lelah dan bosan perang, lalu dengan "sadar"
meletakkan senjata dan saling jabat tangan. Tetapi titik-lelah itu belum
kelihatan hingga sekarang. Kita harus siap untuk melihat jatuhnya korban
terus-menerus di waktu-waktu mendatang. Sudah berkali-kali usaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak dilakukan oleh komunitas internasional, tetapi
gagal terus.

Masing-masing pihak mempunyai versinya masing-masing kenapa usaha diplomatik
itu gagal. Pihak Israel sudah tentu menyalahkan pihak Palestina, sejak zaman
PLO di bawah Arafat hingga sekarang ini di mana Hamas muncul ke permukaan
menggantikan popularitas PLO. Pihak Palestina dan negara-negara Arab,
kemudian diamini juga oleh dunia Islam, tentu menyalahkan pihak Israel
sebagai biang kegagalan usaha diplomatik itu.

Saat perang atas terorisme dikumandangkan oleh Presiden Bush dari
Washington, semua negara makin punya alasan untuk menjadikan momen ini untuk
meningkatkan aksi-aksi militer mereka, tentu dengan alasan untuk memerangi
terorisme. Rusia dan Cina telah melakukan itu. Kini Israel, sebelum Bush
lengser beberasa saat lagi, seperti "kejar tayang" untuk menyelesaikan
"masalah Hamas" dengan melakukan agresi besar-besaran. Seperti sudah bisa
kita duga, aksi Israel ini didukung "tanpa syarat" oleh Presiden Bush.

Mari kita lihat konflik ini dalam perspektif yang lebih luas sehingga kita
bisa lebih "tenang" memahaminya. Tak ada dalam sejarah manusia di mana
sebuah bangsa dibenci secara sistematis, menjadi sasaran prasangka buruk,
stereo-type, rasialisme, dan persekusi seperti dialami oleh bangsa Yahudi.
Itulah sebabnya di Eropa di mana bangsa Yahudi mengalami banyak persekusi
dan diskriminasi selama berabad-abad dikenal istilah "Jewish question",
masalah Yahudi. Debat menganai "Jewish question" ini berlangsung lama sekali
di Eropa dan baru tuntas pada pertengahan abad ke-20.

Secara kuantitas, bangsa Yahudi tidaklah besar jumlahnya. Total jumlah orang
Yahudi di seluruh dunia saat ini mungkin tak lebih dari 15 juta orang.
Sebagian besar mereka tinggal di Israel dan Amerika. Selebihnya mereka
terserak-serak sebagai koloni kecil-kecil di berbagai belahan dunia, mulai
dari Eropa, Amerika Latin, Asia, termasuk di negeri-negeri Arab sendiri.
Tetapi bangsa yang kecil jumlahnya ini menjadi sasaran prasangka buruk dan
kebencian oleh banyak pihak sejak zaman dahulu.

Pertama-tama yang layak kita sebut adalah pihak Kristen. Selama
beradad-abad, bangsa Yahudi menjadi sasaran diskriminasi dari pihak Kristen.
Konflik antara Kristen dan Yahudi sudah berlangsung sejak awal, bahkan sejak
kelahiran agama Kristen itu sendiri. Pertikaian antara orang-orang Yahudi
dan Kristen bukan sekedar pertikaian politik biasa, tetapi juga pertikaian
yang dijustifikasi secara teologis melalui ajaran agama.

Lalu datang Islam. Sejak awal, pertikaian antara Islam dan Yahudi sama
sekali tak terhindarkan. Pada saat Nabi Muhammad datang di Madinah, ada
sejumlah koloni orang-orang Yahudi di sekitar Madinah. Karena konflik dengan
Nabi dan umat Islam saat itu, orang-orang Yahudi ditumpas habis dan sebagian
lagi diusir secara total dari kawasan itu. Pada saat Islam berjaya sebagai
kekuatan politik di kawasan Arab pada rentang antara abad 8 hingga abad 15
Masehi, bangsa Yahudi sebetulnya menikmati suasana yang lebih bersahabat di
dunia Islam ketimbang di dunia Kristen.

Tetapi, kebencian pada Yahudi sebagai sebuah agama tetap bertahan secara
endemik dalam Islam. Bangsa Yahudi digambarkan sangat negatif dalam beberapa
ayat di Quran, dan kemudian disokong pula dengan sejumlah hadis. Contoh
kecil saja: sebuah hadis terkenal menyebutkan bahwa pada akhir zaman nanti
Nabi Isa (atau Yesus) akan turun kembali ke bumi (persis dengan keyakinan
dalam Kristen). Menurut hadis itu, tugas Nabi Isa pada saat itu, antara
lain, adalah untuk menghancurkan salib dan membunuhi orang-orang Yahudi.

Sebuah hadis lain menyebutkan bahwa dua frasa di ujung Surah al-Fatihah (bab
pembuka dalam Quran) merujuk kepada orang Kristen dan Yahudi. Dua frasa itu
adalah: "al-maghdub 'alaihim" (orang-orang yang dibenci oleh Tuhan) dan
"al-dallin" (orang-orang yang sesat). Orang yang dibenci Tuhan maksudnya,
sebagaimana dijelaskan oleh hadis itu, adalah orang Yahudi, sementara
orang-orang yang sesat adalah orang-orang Kristen. Karena pengaruh Kitab
Suci sangat mendalam pada umatnya, kita bisa membayangkan bagaimana dua
frasa yang diulang-ulang setiap salat oleh seluruh umat Islam ini memiliki
pengaruh dalam membentuk prasangka buruk terhadap bangsa Yahudi.

Baik agama Kristen atau Islam mengandung unsur-unsur ajaran yang bisa
membiakkan kebencian pada bangsa Yahudi. Ini bukan kebencian biasa, tetapi
kebencian yang dijustifikasi oleh firman dan ajaran Tuhan sehingga
pengaruhnya sangat mendalami. Tak heran sekali jika kebencian pada agama dan
bangsa Yahudi bertahan selama berabad-abad. Kalau kita baca sejarah, tidak
ada bangsa yang mengalami korban sebagai sasaran kebencian selama dan
seserius seperti dialami oleh bangsa Yahudi. Yang mengherankan, jumlah
mereka sangat kecil sekali, tetapi kebencian pada mereka sungguh tak
sebanding dengan jumlah itu. Atau justru karena mereka kecil lah dengan
mudah menjadi "kambing hitam" di mana-mana. Persis seperti dialami oleh kaum
minoritas di manapun yang cenderung dijadikan sasaran demonisasi dan
pengambing-hitaman.

Kalau kita baca sejarah Amerika, hingga pertengahan abad 20, diskriminasi
dan perlakuan yang tak menyenangkan dialami oleh bangsa Yahudi secara
konsisten. Seorang profesor Yahudi yang pernah belajar di Universitas
Harvard dan sekarang sudah pensiun pernah bercerita pada saya bahwa hingga
tahun 60an, orang-orang Yahudi mendapat kesulitan untuk memperoleh posisi
sebagai profesor di Universitas Harvard. Menurut dia, seorang ekonom Yahudi
yang sangat kondang dan pernah memenangkan hadiah Nobel, Paul Samuelson,
ditolak lamarannya sebagai profesor di Universitas Harvard pada tahun 40an.
Menurutnya, Samuelson ditolak terutama karena keyahudiannya. Akhirnya, MIT
(Massachusetts Institute of Technology) menampung dia. Saat di MIT itulah
Samuelson mendapatkan hadiah Nobel. Saya kira, Universitas Harvard malu
dengan kejadian ini.

Di dunia Islam, jelas orang-orang Yahudi saat ini merasa kurang nyaman. Oleh
karena itu, sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, jumlah orang
Yahudi yang tinggal di kawasan Arab merosot tajam. Mereka kurang merasa
nyaman tinggal di lingkungan yang kurang bersahabat dengan mereka. Dalam
periode pra-modern, memang dunia Islam memperlakukan bangsa Yahudi jauh
lebih baik ketimbang dunia Kristen di Eropa. Tetapi secara umum, kondisi
orang-orang Yahudi di dunia Islam pun pada zaman dahulu tetap menjadi
sasaran diskriminasi dan kebencian. Sebagaimana sudah saya sebut, kebencian
pada Yahudi dalam Islam tertanam melalui ajaran Islam itu sendiri,
sebagaimana juga dalam Kristen. Kebencian itu mendalam sekali karena
dijustifikasi dengan ajaran agama.

Sekarang ini, di dunia Islam, terutama di Indonesia, istilah "antek Yahudi"
adalah kata-kata kotor yang dipakai untuk menyerang siapa saja yang dianggap
"memusushi" Islam -- sama kotornya dengan istilah "antek PKI". Dulu,
almarhum Prof. Nurcholish Madjid pernah dijuluki oleh sebuah media kalangan
Islam fundamentalis di Jakarta sebagai "antek Yahudi". Majalah itu
menggambarkan Cak Nur melalui sebuah karikatur yang menarik: nama Cak Nur
dibelit oleh ular yang membentuk bintang David. Kita tahu apa maksud
karikatur itu: Cak Nur adalah antek Yahudi yang terperangkap dalam belitan
"ular" Yahudi.

Hingga saat ini, bahkan di Amerika sekalipun, kita menyaksikan beredarnya
sebuah teori konspirasi tentang "rencana Yahudi" untuk menguasai dunia. Buku
"Protocols of Zion", misalnya, yang merupakan karangan palsu dinas rahasia
Rusia beredar luas di Eropa, Amerika, dan meluber pula sampai ke dunia
Islam. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan basaha-bahasa
lain itu dunia Islam. Buku itu juga dipercayai oleh banyak kalangan sebagai
dokumen otentik yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah tentang rencana
bangsa Yahudi untuk menguasai dan menghancurkan dunia. Buku semacam ini
jelas dengan gampang menyebarkan rasa kebencian pada bangsa Yahudi yang
jumlahnya sangat kecil itu.

Tak hanya itu. Henry Ford, pendiri perusahaan mobil Ford yang terkenal itu
menulis buku yang sangat anti-Yahudi berjudul "The Jews". Beberapa tahun
yang lalu, saat usai memberikan ceramah di Malaysia, seorang audiens
memberikan saya buku itu seraya berkata, "Bapak harus membaca buku ini".
Hingga sekarang, sentimen anti-Yahudi masih bertahan di banyak kalangan di
Amerika.

Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil
jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa
bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua
agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini,
jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari
jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya
dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang
bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa
yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi.

Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta
itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan
mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini
sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche
bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan
kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat
untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara
berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai
memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan
negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu,
mereka khawatir akan kembali kepada "zaman kegelapan" yang berlangsung sejak
berabad-abad sebelumnya.

Ini yang menjelaskan kenapa Israel bersikap tanpa kompromi pada Hamas sebab
kelompok ini memiliki misi khusus untuk menghancurkan negara Israel. Di
mata Israel, Hamas jelas semacam mimpi-buruk yang menghantui mereka. Bangsa
Yahudi jelas tak mau jatuh ke masa silam yang buruk, ke zaman pogrom dan
holocaust.

Tetapi justru di sini letak kelemahan bangsa Yahudi di Israel dan di manapun
saat ini. Karena terlalu dihantui oleh masa lampau yang pahit, reaksi mereka
terhadap ancaman saat ini terlalu berlebihan. Yang menjadi korban adalah
bangsa Palestina. Sebagai sebuah negara, Israel, negara Yahudi itu, saat ini
sudah cukup kuat dan sangat makmur. Memang kita bisa paham kenapa Israel
selalu merasa tidak was-was dan tidak aman selama ini, sebab ia dikepung
oleh tetangga-tetangga yang sangat membenci keberadaannya.

Kalau di awal tulisan ini saya mengtakan bahwa konflik Palestina-Israel
boleh jadi tak akan pernah selesai, di ujung tulisan ini saya ingin
mengemukakan sebuah harapan. Salah satu harapan itu adalah jika pihak bangsa
Yahudi dan bangsa Arab, terutama Palestina, bisa mengatasi "masa lalu"
mereka masing-masing. Bangsa Yahudi harus melepaskan diri dari "mentalitas
diaspora" yang membuat mereka merasa terancam terus dan selalu mencurigai
tetangga-tetanggany a. Jika mentalitas ini tak bisa diatasi, maka negara
Israel akan terus mencari musuh dengan tetangga-tetangga dekatnya seperti
kita saksikan sekarang ini.

Dari pihak bangsa Arab, tantangan terbesar adalah mengatasi "rasa
superioritas" mereka sebagai bangsa yang pernah berjaya selama berabad-abad
di kawasan Arab dan sekitarnya, dan merasa bahwa bangsa Yahudi tak punya
hak untuk mendirikan negara di tanah Palestina, sebab hal itu akan melukai
rasa superioritas itu.

Dari pihak umat Islam sendiri secara keseluruhan juga ada tantangan yang
sangat berat jika mereka benar-benar ingin ikut menyelesaikan masalah
Palestina-Israel ini. Selama ini, kita semua tahu, ajaran yang membenci
bangsa Yahudi diajarkan terus di sekolah-sekolah agama di seluruh dunia
Islam, sejak zaman klasik hingga sekarang. Waktu saya di pesantren dulu,
setiap guru saya menerangkan ayat-ayat dalam Quran yang membenci bangsa
Yahudi, maka mereka memahaminya dengan tidak kritis, sehingga secara tak
sengaja, mereka mengajarkan kebencian turun-temurun terhadap bangsa Yahudi.
Bagaimana mungkin dunia Islam mau menyelesaikan masalah Palestina-Israel
jika ajaran-ajaran yang membenci bangsa Yahudi ini terus ditularkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya?

Menurut saya, harus ada reinterpretasi ulang atas sejumlah ayat dan hadis
yang membenci bangsa Yahudi dan selama ini diajarkan di lembaga-lembaga
Islam. Jika tidak, maka selamanya akan terjadi kebencian dan permusuhan
antara umat Islam dan bangsa Yahudi. Saya tak percaya bahwa umat Islam akan
berhenti membenci bangsa Yahudi seandainya pun yang terakhir itu, misalnya,
dengan sukarela membubarkan negara Israel lalu pergi dari tanah Palestina.
Menurut saya, masalahnya lebih serius dari sekedar masalah "tanah". Yang
bermasalah adalah doktrin dalam agama itu sendiri.

Apa yang saya tulis ini jelas tak populer di kalangan Islam saat ini. Boleh
jadi, tulisan ini dianggap sebagai bagian dari konspirasi Yahudi pula.
Silahkan saja. Dengan terus terang saya katakan, saya bukan "fan" atau
pendukung ringan, apalagi berat, negara Israel. Saya benci dan jengkel pada
tindakan dan kebijakan pemerintah Israel selama ini terhadap bangsa
Palestina. Tetapi kita juga harus jujur melakukan otokritik pada diri kita
sendiri. Ada sikap-sikap yang salah dan tak tepat juga di kalangan umat
Islam terhadap bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu. Sikap-sikap
yang berdasarkan pada doktrin agama itu harus dikritik jika umat Islam
memang benar-benar ingin menegakkan perdamaian di bumi Palestina.[]

Wallahu a'lam bissawab.